Selasa, 01 Maret 2011

Pelindo Masih Kuasai Sungai Mahakam

Lepas Tangan Saat Ada Musibah Air

Tenggarong, Express: PT Pelindo IV Cabang Samarinda ternyata memiliki otoritas luas terhadap pemanfaatan alur Sungai Mahakam. Selama kurun waktu 20 tahun terakhir Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kementarian Perhubungan itu telah melakukan pungutan bagi kapal dan alat angkutan sungai lainnya yang berlabuh maupun melewati alur sungai terbesar di Kalimantan ini. Hal itu terungkap saat Tim Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pengelolaan Alur Pelayaran Sungai Mahakam (PAP-SM) DPRD Provinsi Kaltim mencari masukan ke Pemkab Kutai Kartanegara belum lama ini.
Kepala Bidang (Kabid) Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) pada Dinas Perhubungan Kukar Drs H Marsidik dihadapan anggota Tim Pansus Raperda PAP-SM DPRD Kaltim yang diketuai Ir M Adam mengatakan, kendati Kukar sudah melaksanakan otonomi daerah namun untuk menerapkan Peraturan Daerah (Perda) No 20/1998 tentang Tentang Retribusi Tambat dan Labuh di sungai Mahakam dalam wilayah Kukar masih terhambat.
Menurut Marsidik, pihak Administrator Pelabuhan (Adpel) Samarinda menolak jika Kukar memberlakukan Perda tersebut terutama memungut uang Retribusi Labuh. ”Karena pungutan serupa telah dilakukan pihak PT Pelindo IV Cabang Samarinda terhadap semua aktivitas kapal dan alat angkutan sungai yang melakukan kativitas di Mahakam,” ujarnya.
Ia menambahkan, PT Pelindo menganggap seluruh alur Mahakam dari muara di kawasan Delta Mahakam hingga ke Longbagun di Kutai Barat masih dalam lingkungan Daerah Kerja Pelabuhan (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) Adpel/Pelindo Samarinda.
“Alasan mereka sehingga menolak Perda Kukar No 20/1998 dan kemudian mengijinkan PT Pelindo IV memungut uang Jasa Kepelabunan dilandasi oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) Mendagri dan Menhub No 32/1992 dan Keputusan Menteri (KM) Perhubungan No 10/92. Keduanya tentang Batas-batas Wilayah Lingkungan Daerah Kerja Pelabuhan (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) Pelabuhan yang ditangani Adpel bersama PT Pelindo,” kata Marsidik.
Ia mengatakan, seharusnya setelah Kukar melaksanakan UU No 32/2005 tentang otonomi daerah maka sepatutnya retribusi itu menjadi hak daerah sebagai pos penghasilan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Oleh sebab itu pihaknya berupaya agar Perda Kukar No 20/1998 harus segera berjalan efektif. Karena setelah di konfirmasi ke beberapa pengusaha alat angkutan Mahakam mereka mendukung adanya retribusi dari Pemkab Kukar ini. ”Umumnya pengusaha itu menilai pungutan yang dilakukan pihak Pelindo selama ini tidak jelas arah dan tujuannya,” ujarnya.
Yang lebih mengecewakan lagi ujar Marsidik bahwa uang pungutan yang ditarik Pelindo itu tidak pernah sepeserpun mengalir ke Kukar sebagai pemilik wilayah. Padahal kami butuh dana banyak untuk membuat rambu-rambu lalulintas sungai, kemudian melakukan pengerukan di sejumlah titik sungai yang terjadi pendangkalan.
Namun lanjut dia, PT Pelindo tidak mau tahu jika di alur Mahakam ini ada peristiwa kecelakaan sungai yang kerap terjadi termasuk kerusakan lingkungan seperti pencemaran BBM kapal dan erosi DAS akibat gelombang kapal. ”Seharusnya mereka berkontribusi buat meringankan derita kecelakaan dan kerusakan lingkungan sungai ini, bukan hanya memungut, lalu pergi,” ujarnya. (gun/joe)

Tidak ada komentar: