Kamis, 03 Maret 2011

DPRD Serang Balik FPMLK

*Pertanyakan Legalitas Forum Kelola Royalti
*Kejari dan Polisi Diminta Lakukan Audit



Tenggarong, Express: Sikap keuh-keuh yang ditunjukkan Forum Pemerhati Masyarakat Loa Kulu (FPMLK) yang tidak mau mentransparansikan perolehan royalti batubara berbuntut panjang. DPRD Kutai Kartanegara (Kukar) pun melihat ada suatu kejanggalan atas kasus itu.
Ketua Komisi II DPRD Kukar Awang Yacoub mengatakan, seharusnya PT Mega Prima Persada (MPP) langsung memberikan royalti itu kepada desa. Selanjutnya dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), dimana royalti itu masuk dalam Pendapatan Asli Desa (PADes) dari pihak ketiga.
“Seharusnya PT MPP langsung mengirim (royalti) kepada desa. Apapun penerimaan yang berdasarkan ijin, diatur dalam pasal 33 UUD 1945. Sehingga dalam konteks pengelolaan royalti yang dilakukan Forum Loa Kulu, tidak sah,” katanya.
Untuk diketahui, pasal 33 UUD 1945 ayat 3 berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam pasal itu menegaskan, melarang adanya penguasaan sumber daya alam (SDA) ditangan orang-seorang. Dengan kata lain monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam bidang pengelolaan SDA bertentangan dengan prinsip pasal 33.
“Kami melihat, pengesahan dalam pekerjaan hibah (royalti, Red), tidak melalui proses BPD (Badan Permusyawaratan Desa). Jadi apapun namanya, hasil bumi dalam bentuk royalti tidak bisa dikelola institusi. Kecuali, forum (FPMLK) sebagai pemilik lahan. Kalau sebagai pemilik lahan, baru bisa bicara bisnis to bisnis,” jelasnya.
Awang menambahkan, memang masyarakat mengajukan permohonan untuk pembebasan lahan PT Multi Harapan Utama (MHU) yang dikira sudah tidak produktif lagi. Namun, ia menegaskan, yang dibebaskan adalah lahan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).
“Awalnya MHU menyerahkan lahan kepada negara yaitu Dirjen Minerbapabun (Mineral, Batubara dan Panas Bumi). Kemudian, pemerintah pusat memotong konsesinya dan diserahkan kepada Pemkab Kukar. Lalu diterbitkanlah Ijin Kuasa Pertambangan (KP). Jadi yang dibebaskan adalah lahan negara, bukan lahan FPMLK,” katanya.
Senada diungkapkan koleganya Baharuddin Demu asal PAN. Menurutnya, tidak ada aturan yang menyebut, dana royalti dikelola oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), forum atau lembaga sejenisnya. “Apapun bentuknya, royalti atau fee itu harus diberikan kepada rakyat selama forum itu mengatasnamakan rakyat,” katanya.
Ia menyarankan, agar Kejaksaan Negeri (Kejari) dan kepolisian bisa melakukan audit terhadap keuangan FPMLK. Karena royalti yang diterima dari aktivitas produksi batubara PT MPP untuk desa-desa yang letaknya bersinggungan langsung dengan lokasi tambang.
“Kami meminta agar Kejari atau polisi melakukan audit keuangan Forum Loa Kulu. Karena tidak ada yang mengatur PKP2B langsung dijadikan bisnis. Itu tidak boleh. Kalau comdev (Community Development) itu baru benar. Tapi kalau bisnis itu patut dipertanyakan. Dasar hukum mereka (FPMLK, Red) sebagai pemilik royalti itu apa. Ini hak rakyat lo,” ujarnya.
Sementara Anggota Komisi I Isnaini menyarankan, royalti yang diperoleh dari PT MPP harus langsung diberikan kepada desa melalui APBDes. Karena dalam AD/ART FPMLK juga sudah jelas. “Dalam Bab XVII tentang mekanisme distribusi hasil pendapatan royalti batubara, pasal 17 ayat 6 jelas ditulis, hasil royalti produksi batubara yang diterima setiap bulan masuk dalam APBDes. Kenapa mesti takut, kan uang itu memang untuk rakyat,” kata Isnaini sembari menunjukkan AD/ART FPMLK kepada wartawan dan anggota dewan lainnya.
Pasalnya yang menjadi janggal menurut Isnaini, royalti yang diterima desa setiap tahunnya mengalami penurunan. Padahal PT MPP sendiri meningkatkan produksinya dari 100 ribu MT menjadi 200 ribu MT per bulan.
“Kalau produksinya meningkat, otomatis royalti yang diterima desa juga meningkat. Ini kok malah turun. Wajar kan kalau masyarakat minta transparansi. Wong, setiap bulan desa disuruh buat Laporan Pertanggungjawaban (LPJ), tapi Forum Loa Kulu menyampaikan LPJ kepada siapa,” imbuhnya.
Diberitakan sebelumnya, persoalan antar FPMLK dengan masyarakat dan pemerintahan desa meruncing setelah terjadinya keributan Kamis (24/02) lalu di depan Kantor Camat Loa Kulu. Hal itu dipicu keinginan masyarakat yang ingin meminta transparansi FPMLK terkait royalti yang diterima dari PT MPP.
Lantaran tidak terima disorot dewan, FPMLK pun menantang argumen anggota DPRD Kukar yang disampaikan ketuanya Mashudiono didampingi sekretarisnya Supriyadi. Mereka menolak jika royalti batubara itu diserahkan langsung kepada desa. “Kami harap Pak Isnaini selaku anggota DPRD Kukar lebih bijaksana. Jangan bicara setengah-setengah sebelum tahu bagaimana persoalan sebenarnya. DPRD juga harus bersikap netral, menjadi mediator dan penengah antara warga dengan FPMLK,” katanya belum lama ini. (gun)

Tidak ada komentar: